Another side of me

Artikel Terbaru

Friday, November 18, 2016

On November 18, 2016 by Auli in    No comments

56 tahun! Bukanlah waktu yang singkat dalam perjalanan hidup sebuah institusi wiyata pencetak kader bangsa untuk berkarya.
6 TIPS SBMPTN / MANDIRI YANG BOLEH KAMU LIRIK
Manis, asam, asin, pahit, dan hampir semua rasa yang ada di jagat ini telah terasai. Sang waktu yang berjalan pongah tak terbendung telah membawa kita pada satu titik seperti yang kita pijak saat ini. Dalam kurun waktu selama itu, tentunya telah terbentuk suatu sistem baik yang terstruktrur maupun yang amburadul, dalam kehidupan akademik, kehidupan mahasiswa, serta budaya-budaya yang menyertainya.
Namun angka 56 tak berarti apa-apa karena kita masih memiliki satu-atau beberapa-tabiat buruk yang sudah membudidaya dan mendarah daging dalam kehidupan kampus ini. Bukan ulah birokrasi yang selalu berbelit dalam mengeluarkan anggaran ketika akan diadakan suatu kegiatan bagi mahasiswa, juga bukan kebiasaan cangkruk yang membuat para mahasiswa sengaja lupa akan adanya jadwal kuliah pada pukul tujuh pagi, bukan pula perilaku semena-mena dosen dalam menetapkan batas waktu pengumpulan tugas. BUKAN! Sekali lagi bukan hal-hal diatas yang akan saya utarakan. Ada satu hal yang menggelitik otak dan menyentil hati saya sehingga memaksa jari-jari ini bertindak dalam menuangkan segala yang ada di pikiran, yakni budaya militeristis-senioritas dalam kampus.
Militeristis-Senioritas
Secara etimologis, senioritas berasal dari kata senior yang artinya lebih tua. Pengertian lebih bebasnya sering diartikan sebagai pemberian keistimewaan kepada yang lebih tua dalam berbagai hal dikarenakan karakter orang yang lebih tua biasanya lebih bijak, berpengalaman dan berwawasan luas (Siswoyo, 2010). Dengan mengusung dalil semacam inilah para senior merasa sangat berhak untuk memberikan instruksi dan mungkin perlakuan apapun kepada ‘adik-adiknya’.
Bahkan, sering kali dengan nada bersungut-sungut dan mimik muka yang tak enak dilihat mereka bersuara ketika melihat ada hal kurang pas yang dilakukan oleh ‘adik-adik’ mereka, atau ketika mereka ingin memberikan tugas dengan deadline tak masuk akal kepada sang ‘adik’. Sang ‘adik’ yang memang masih polos tentu tidak mampu untuk banyak menbantah karena selain argumen yang dilontarkan hampir selalu dapat dipatahkan juga kerena dogma untuk menghormati senior telah terpatri dalam otak mereka terlebih dahulu, sehingga mereka-sang adik-merasa sungkan untuk berdebat panjang lebar.
Dalam budaya senioritas yang telah lama diterapkan di ITS, sistem sentralisasi informasi diterapkan dengan begitu kuat. Hampir semua informasi berpusat pada senior, baik berupa informasi yang salah maupun benar. Hal ini menjadikan objektifitas dari informasi yang diperoleh sangat lemah dan kerap kali menggiring pada suatu opini yang sesat. Tentunya akan sangat berbahaya apabila opini sesat tersebut terus menerus disampaikan dari mulut satu ke mulut lain dari waktu ke waktu. Dharmaningtyas mengemukakan (dikutip dalam Jazadi, 2000) bahwa sentralisasi informasi ini ditujukan untuk menyeragamkan pola pikir, sikap, dan cara bertindak penerima informasi. Bahkan Elias Kopong melalui disertasinya (dikutip dalam Jazadi, 2000) mengemukakan bahwa informasi yang tersentralisasi ini mengabaikan nilai-nilai kebhinekaan yang sudah menjadi identitas bangsa Indonesia dan berakibat pada tercerabutnya mahasiswa dari praktik budaya dan kebutuhan riil di lingkungan tempat tinggalnya.
Praktik-praktik senioritas dalam kampus ini memiliki pola yang sama, meski dengan intensitas yang lebih rendah, dengan sistem yang diterapkan dalam lingkungan militer. Pada lingkungan militer, komando berasal dari atasan atau orang yang memiliki pangkat lebih tinggi. Prajurit yang memiliki pangkat lebih rendah harus lebih menghormati mereka yang berpangkat lebih tinggi. Dr. Roeslan Abdulghani pada Ceramah Ilmiah Yayasan Pembela Tanah Air pada tanggal 18 Desember 1996 mengakatakan :
“Ingat, kalau berjumpa seorang letnan-kolonel kau harus beri hormat, tetapi kalau berjumpa dengan seorang letnan jangan, letnan itu yang harus beri hormat. Lha, kalau berjumpa dengan kapten diam saja, sama-sama diam.”
Dogma untuk selalu menghormati atasan dan melakukan semua perintah atasan tanpa adanya bantahan sudah mengakar kuat dalam tiap otak prajurit-prajurit kita.
Nilai-nilai kemiliteran juga banyak disadur oleh sistem pendidikan kader organisasi-organisasi di ITS. Nilai-nilai kemiliteran yang dimaksud beberapa diantaranya adalah kedisiplinan, kerja sama, dan solidaritas (Suprawito, 2011). Meskipun sebagian besar nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai yang baik untuk diaplikasikan. Namun pada prosesnya, penanaman nilai-nilai ini diterapkan pada objek dan cara  yang salah. Seringkali pada proses penanaman nilai-nilai tersebut, terdapat kegiatan-kegiatan yang sangat menguras fisik dan mental. Mungkin sah-sah saja apabila hal ini dilakukan pada orang-orang militer yang sudah jelas terlatih kemampuannya. Namun, tidak halnya dengan orang-orang awam seperti kebanyakan mahasiswa di ITS. Belum lagi berbagai kekerasan mental dalam bentuk verbal yang kerap kali diterima oleh para mahasiswa baru.
Menurut Sutikno (dikutip dalam Putri dan Santoso, 2012) kekerasan verbal adalah kekerasan terhadap perasaan menggunakan kata-kata dengan kata-kata yang kasar tanpa menyentuh fisiknya. Kata-kata tersebut dapat berupa ucapan yang memfitnah, kata-kata yang mengancam, menakutkan, menghina, atau membesar-besarkan kesalahan orang lain. Kekerasan dalam bentuk verbal yang menyerang pada sisi mentalitas mahasiswa kerap kali terjadi pada saat dilaksakannya ‘komunal’. Komunal merupakan istilah yang banyak dipakai oleh organisasi-organisasi di ITS untuk mengumpulkan seluruh elemen terkader dan dipertemukan kepada elemen pengader untuk tujuan tertentu. Tujuan-tujuan tersebut bisa berupa evaluasi, doktrinasi komunal, serta hal-hal lain bergantung pada sistem pengaderan masing-masing. Bentakan, hinaan implisit, ancaman, dan bahkan perkataan-perkataan kotor seringkali terucap dari para senior pada kegiatan ini.
Memang, seiring berjalannya waktu dan dinamika yang terjadi, baik di internal maupun eksternal kampus, secara perlahan-bahkan sangat lamban-kebiasaan ini mulai berkurang jika dibandingkan dengan masa-masa awal berdirinya kampus ini. Namun tetap saja, seberapa besar dinamika pemikiran yang terjadi dalam setiap kepala mahasiswa, ketika sebuah budaya telah melekat kuat disetiap pikiran kita tentu akan sangat sulit untuk dihapuskan secara serta-merta bahkan dalam waktu 56 tahun sekalipun.
Indoktrinasi Masa Lalu
Tumbuhnya budaya senioritas ini tentunya tidak muncul secara tiba-tiba tanpa adanya pemantik yang menjadi sebab serta sekam-sekam yang terus memelihara bara tabiat buruk ini. Memang penulis belum menemukan sumber yang secara ilmiah dan objektif menerangkan awal-mula budaya senioritas ini berlangsung. Namun sebagian besar menyatakan bahwa hal tersebut terjadi karena sudah berlangsung sekian lama dan mereka hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh para pendahulunya. Di sinilah indoktrinasi dari para senior memegang peranan penting dalam terpeliharanya budaya senioritas. Menurut Yoyon Bachtiar (2008), cerita, simbol organisasi, bahasa, ritual, dan pernyataan visi-misi serta tujuan sebuah organisasi menjadi media yang sangat efektif dalam mengomunikasikan budaya organisasi mereka ke anggotanya.
Baca juga:






Cara Membuat Rancangan Nilai IPK atau IPS Saat Kuliah


Apeldorn berpendapat (dikutip dalam Sofian, 2016), doktrin membantu dalam pembentukan norma, ketika doktrin tersebut telah berlaku secara umum dan telah diobjektifkan maka doktrin akan berubah menjadi norma. Dalam prosesnya, transformasi sebuah ajaran/doktrin menjadi norma memiliki beberapa tahapan. Ajaran akan terus-menerus didengung-dengungkan dengan berbagai cara secara tersentral oleh satu pihak tanpa adanya timbal balik, kalaupun ada logika penerima berusaha dipatahkan supaya ajaran baru dapat diterima. Hal ini dilakukan kepada banyak orang. Ketika hampir semua orang telah menerima doktrin tersebut, maka doktrin telah bertransformasi menjadi sebuah teori yang ketika dilaksanakan berubah menjadi norma.
Dalam praktiknya, dogma-dogma melenceng sering kali tertanam dalam pikiran setiap mahasiswa. Menghargai senior merupakan salah satu contohnya. Sekilas memang tidak ada yang salah dengan ajaran ini, namun jika dalam praktiknya hanya satu pihak saja yang menghargai, apalah artinya? Inkonsistensi antara ucapan dengan perilaku terjadi karena mereka ingin dihormati namun tidak mau balik menghormati. Contoh lain dari dakyah sesat yang selama ini  terjadi adalah melencengnya konsep solidaritas dari tujuan awalnya. Konsep solidaritas yang awalnya bertujuan untuk merangsang jiwa kepedulian antar sesama, justru melenceng kearah arogansi kelompok. Penanaman nilai-nilai solidaritas yang dipersempit hanya kepada teman-teman satu angkatan saja-walau kemudian diperluas menjadi satu jurusan-justru berakibat fatal karena pada akhirnya terbentuklah kelompok-kelompok angkatan dan jurusan. Karena sejak awal konsep solidaritas hanya diterapkan pada kelompok-kelompok tersebut, mereka mengidentifikasi kelompok lain sebagai ‘orang luar’. Sehingga ketika terjadi sedikit saja friksi antar kelompok, maka masalah akan teramplifikasi menjadi semakin besar. Seperti yang terjadi pada tawuran antar mahasiswa dua jurusan pada Rabu, 6  Mei 2015 maupun yang kerap kali terjadi saat acara arak-arakan wisuda.
Konsep pengaderan saat ini memang merupakan hasil dari peninggalan konsep pengaderan masa lalu, yang hanya sedikit dimodifikasi pada tingkat intensitasnya saja. Padahal masalah utama terletak pada proses pengaderan itu sendiri. Masih banyak dogma-dogma sesat lain yang awet terpelihara sampai saat ini.
Pendidikan Humanis vs Pendidikan Feodal
Setiap pribadi adalah seorang pemimpin, apapun objek yang dipimpinnya. Dalam prosesnya untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, dibutuhkan pendidikan sebagai alat untuk meraih model kepemimpinan yang tepat. Menurut Imam Al-Ghazali (yang dikutip oleh Rusn, 1998) pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia (humanisasi) sejak masa kejadiannya sampai akhir khayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan secara bertahap. Bertrand Russel dalam bukunya “Education and the Social Order” (1932) membagi tiga teori pendidikan berdasarkan tujuannya. Yang pertama pendidikan bertujuan untuk menyediakan peluang bagi pertumbuhan dan menghilangkan pengaruh-pengaruh yang merintangi. Teori kedua berpendapat bahwa tujuan pendidikan seharusnya membudayakan individu dan mengembangkan kapasitasnya hingga maksimal, dengan kata lain pendidikan bertujuan untuk membentuk individu beradab. Sementara teori terakhir berpendapat bahwa pendidikan harus lebih mempertimbangkan dalam hubungannya dengan komunitas dibanding dengan individu, hal ini bertujuan untuk membentuk seorang warga negara yang baik.  Hal ini tentu cukup membingungkan beberapa orang, mengingat biasanya individu yang beradab juga berimplikasi pada perilakunya sebagai warga negara yang baik. Namun, Russel mengemukakan alasan brilian yang membantah anggapan macam itu, ia mencontohkan dalam sejarah peradaban barat, menganut nilai-nilai kristiani pada masa awal peradaban Romawi tentu menentang kebijakan penguasa dan negara. Ia juga mengatakan, bahwa membentuk warga negara yang taat juga mengajarkan kepatuhan yang tidak kreatif. Padahal kreatifitaslah yang dibutuhkan dalam pengembangan diri seorang manusia.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, Ki Hajar Dewantoro telah mengemukakan konsep pendidikan. Menurutnya anak-anak Indonesia harus memiliki jiwa kepemimpinan dan berwawasan luas untuk mengembangkan kebudayaan nasioanal. Metode yang dimaksud yaitu, seorang siswa harus bisa menjadi seorang pemimpin yang dapat menjadi teladan yang baik (Ing ngarsa sung tuladha), mampu memberi motivasi (Ing madya mangun karsa), dan mampu memberi dorongan (Tut wuri handayani). (Sunarso, 2008).
Pendidikan humanis bersumber dari dua aliran filsafat yakni progresifisme dan ekstensialisme (Sunarso, 2008). Prinsip progresifisme menempatkan pusat pendidikan pada anak didik, peran guru yang tidak otoriter, berfokus pada keterlibatan aktifitas anak, dan aspek pendidikan yang demokratis dan kooperatif. Sementara ekstensialisme berprinsip pada keunikan siswa sebagai individu. Teori ini berpandangan setiap orang memiliki kekhasannya masing-masing yang berbeda dari individu lainnya (Sunarso, 2008)
Pendidikan yang bersifat kaku/feodal hanya akan menelurkan generasi-generasi yang tidak kreatif serta cenderung mengikuti apa yang telah diberikan oleh guru (Sunarso, 2008). Begitu pula pendidikan yang lebih mengedepankan penggalian pada potensi diri serta kemampuan tiap-tiap individu, tentu juga akan mencetak generasi-generasi yang tahu posisi serta kehebatannya masing-masing. Seperti kata ilmuan terkenal Albert Einstein :
“Everyone is genius. But If you judge a fish by its ability to climb a tree, it will be live its whole live believing that it is stupid”
Dari beberapa teori tentang pendidikan di atas, mental kepemimpinan seorang individu begitu dipengaruhi dari proses pendidikan yang telah mereka lalui. Dalam konteks model pendidikan kader yang ada di organisasi-organisasi kemahasiswaan di ITS yang lebih menitikberatkan pada sentralisasi informasi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,  hal ini berpotensi menghasilkan pemimpin-pemimpin yang kaku, berpandangan sempit, dan preskriptif. Namun, asumsi ini bisa saja tidak berlaku mengingat proses pendidikan yang telah dilalui tiap individu berbeda-beda. Pendidikan kader di ITS hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan proses yang telah dialami. Apabila seseorang telah memiliki paradigma tersendiri tentang kepemimpinan, pendidikan kader di ITS hanya akan membuka gambaran baru tentang konsep kepemimpinan yang telah ia ketahui. Berbeda kasusnya apabila dipertemukan dengan orang yang masih lemah secara pola pemikiran.
Di era perkembangan teknologi digital saat ini, tatanan kehidupan manusia sudah mengalami perubahan yang mendasar. Hal ini terjadi karena begitu dahsyat dan sistematisnya penjajahan budaya yang melanda kita semua. Lewat perkembangan teknologi informasi yang begitu masif, peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi dapat kita saksikan hanya dengan menggunakan benda canggih berbentuk persegi panjang. Begitu cepatnya aliran informasi yang masuk membiaskan dampaknya bagi kehidupan manusia (Baharuddin dan Makin, 2009).
Berdasarkan pendapat Djojodibroto (dikutip dalam Rahmatia, 2014) mahasiswa merupakan satu golongan dari masyarakat yang mempunyai dua sifat, yaitu manusia muda dan calon intelektual, dan sebagai calon intelektual, mahasiswa harus mampu untuk berpikir kritis terhadap kenyataan sosial, sedangkan sebagai manusia muda, mahasiswa seringkali tidak mengukur resiko yang akan menimpa dirinya. Dua sisi inilah yang harus diberdayakan agar kedepannya seorang mahasiswa benar-benar mampu menempatkan diri dalam masyarakat guna mengamalkan keilmuan dan pemikirannya. Mantan Menteri Pendidikan Indonesia di era Orde Baru, Daoed Joesoef memaparkan 5 tanggung jawab esensial seorang yakni (dikutip dalam Sardiman dan Yuliatri, 2012):
  • Mempertahankan dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa;
  • Mengembangkan kepribadian sehat dan tangguh, berkemampuan berfikir analitis dan sintesis, berilmu tinggi serta bermoral Pancasila dan berbudi pekerti luhur;
  • Meningkatkan partisipasi dalam pembangunan dalam rangka mewujudkan trilogi pembangunan;
  • Memelihara dan mengembagkan Demokrasi Pancasila serta menjujung tinggi hak dan kewajiban asasi warga negara dalam rangka mengamalkan Pancasila dan UUD;
  • Mengembangkan nilai-nilai budaya yang luhur dan relevan guna mendorong masyarakat dan menampung perubahan serta pengembangan masyarakat yang postif dalam pembaharuan bangsa.
Berkaca pada model orientasi kampus di berbagai negara kegiatan-kegiatan yang dilakukan begitu variatif mulai dari pengenalan studi hingga aktivitas sosial. Masa orientasi di Australia dikenal sebagai O-Week(Orientation Week) dimana kegiatannya berisi pemahaman tentang perkuliahan, kehidupan mahasiswa, dan pengenalan kehidupan kampus. Di Inggris, masa orientasi disebut dengan Freshers’ Week yang kegiatannya diisi dengan pengenalan fasilitas kampus, kegiatan ekstra di luar perkuliahan, hingga mempromosikan
pesan-pesan yang berkepentingan dengan kehidupan remaja. (Utomo, 2006).

Pertanyaan besar yang kemudian mengemuka adalah masihkah relevan budaya militeristis-senioritas ini dipelihara dalam konstelasi kehidupan kampus tercinta ini? Masih pantaskah? Disaat pemuda-pemuda bangsa lain berlomba berinovasi dan mendermakan keahlian dan pemikirannya untuk kehidupan manusia yang lebih baik, di sini kita masih berkutat pada permasalahan picisan berdampak masif yang tak kunjung terekonsiliasi. Sekali lagi masihkah relevan budaya militeristis-senioritas ini dipelihara dalam konstelasi kehidupan kampus tercinta ini? MARI KITA RENUNGKAN BERSAMA!!!

Tim Penyusun
Handis Muzaky – 3514100068
Muhammad Syukron M – 1314030072
Muhammad Rifki Kurniawan – 2414100034
UKM Penalaran ITS


Daftar Pustaka :
Sumber Buku :
Abdulgani, Roeslan. 1996. Kebangkitan Jiwa Keprajuritan Nasional. Ceramah ilmiah Yayasan Pembela Tanah Air, Desember 18, Bogor.
Rusn, Abidin Ibnu. 1998. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Russell, Bertrand. Education and the Social Order, Terj. Toeti Heraty Noerhadi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993
Baharuddin & Makin, Moh. Pendidikan Humanistik : Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Siswoyo 13 Agustus, 2010. Lupakan Senioritas. Waspada Medan, hlm -.
Sumber Jurnal dan Internet :
Utomo, Pramudi. November 2006. “Memberi Bobot Arah Orientasi Pembinaan Mahasiswa”. - .http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Pramudi%20Utomo,%20Drs.%20M.Si./Memberi%20bobot%20arah%20orientasi.pdf. 28 September 2016
AM, Sardiman. M.Pd & Yuliantri, Rhoma Dwi Aria. M.Pd. “Dinamika Pendidikan pada Masa Orde Baru(Kebijakan Daoed Joseof dan Nugroho Notosusanto)”. - .http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Rhoma%20Dwi%20Aria%20Yuliantri,%20S.Pd.,%20M.Pd./Nugroho%20dan%20Daoed%20Joseof.pdf. 1 Oktober 2016
Rahmatia, Iin. “Mahasiswa Jago Tawuran : Kajian Antropologi Tentang Konflik Mahasiswa di Kampus Universitas Hasanuddin”. - .http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9100/Iin_Rahmatia_Skripsi.pdf?sequence=1. 28 September 2016
Suprawita.”Komunikasi Intra dan Antarbudaya dalam Membentuk Kepribadian TNI”. Mimbar Journal. Vol. XXVII, No. 1, http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/viewFile/316/67. 1 Oktober 2016
Irianto, Yoyon Bachtiar. M.pd, Dr. H. “Budaya Organisasi”.http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/196210011991021-YOYON_BAHTIAR_IRIANTO/Modul-6-Budaya_Org.pdf. 28 September 2016
Sofian, Ahmad. “Makna “Doktrin” dan “Teori” dalam Ilmu Hukum”. - .https://www.researchgate.net/publication/303805700_Makna_Doktrin_dan_Teori_dalam_Ilmu_Hukum .1 Oktober 2016
Sunarso. “Pendidikan Humanis dalam Pandangan Paolo Freire dan Ki Hajar Dewantara”. - .http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Sunarso,%20M.Si./Volume%205%20No%201,%202008.pdf. 15 September 2016

0 comments:

Post a Comment

SIlahkan berkomentar, mari berdiskusi. Untuk bantuan atau permintaan bisa email kami. Semoga bermanfaat :)