Another side of me

Artikel Terbaru

Saturday, July 22, 2017

On July 22, 2017 by Auli in , ,    No comments
Draft KesiapanPemerintah dalam Megaproyek 35000 MW
Oleh:Himpunan Mahasiswa MesinFTI-ITS 2016-2017
Latar Belakang      
            Perkembangan dan dinamika kondisi global dan nasional, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan kondisi energi Indonesia perlu dijadikan perhatian dalam menentukan arah, sasaran dan
strategi pengembangan kebijakan energi Indonesia di masa mendatang. Pada sektor energi khususnya pada energi listrik sudah menjadi kebutuhan pokok dunia ini, khususnya di Indonesia. Berbagai sektor yang penting membutuhkan energi ini. Mulai dari instansi yang paling kecil yaitu rumah tangga, sampai yang terbesar meliputi industri raksasa sekalipun.
            Kelistrikan di Indonesia sendiri sudah ada pada masa Hindia Belanda. Pada saat itu memakai sumber tenaga uap untuk pembangkitnya. Sejak saat itu kelistrikan di Indonesia terus berkembang. Pada masa awal kemerdekaan tanggal 27 Oktober 1945 dibentuklah jawatan Listrik dan Gas oleh Presiden Soekarno. Waktu itu kapasitas pembangkit tenaga listrik hanyalah 157,5 MW.
            Kelistrikan di Indonesia mengalami perkembangan seiring berkembangnya teknologi dan berjalannya waktu. Baru-baru ini, muncul suatu kebijakan dari Presiden Joko Widodo, yaitu megaproyek 35.000 MW. Proyek ini bukan digagas tanpa alasan. Presiden Jokowi merealisasikan proyek ini untuk meningkatkan keterjangkauan penggunaan listrik atau rasio elektrifikasi Indonesia yang notabene tergolong rendah di Asia Tenggara, yaitu hanya sekitar 88,3%. Dengan berjalannya proyek ini, diharapkan rasio elektrifikasi Indonesia dapat mengimbangi rasio elektrifikasi negara tetangga. Presiden Jokowi juga berharap seiring naiknya rasio elektrifikasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meningkat dengan asumsi semakin terjangkau kelistrikan di Indonesia maka akan mengkatalis roda perekonomian di Indonesia juga.
            Kebijakan megaproyek 35.000 MW ini menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak, mulai dari rentang waktu hingga tahun 2019 yang dirasa terlalu sulit untuk direalisasikan, kurang terjawabnya output megaproyek ini dengan masalah rasio elektrifikasi, hingga persoalan energi terbarukan. Hambatan dari proyek 35.000 MW juga tidak sedikit mulai dari proses penyelesaian kontrak yang lamban hingga sulitnya melakukan pembebasan lahan di berbagai daerah terutama daerah yang masih dikuasai etnis asli daerah tersebut seperti Sulawesi dan Papua.
            Oleh karena itu, perlu adanya sebuah kajian mengenai megaproyek 35.000 untuk mengkritisi berbagai poin di kebijakan ini, memberi penyikapan terhadap hasil diskusi, sebagai media untuk mengkawal kebijakan pemerintahdan sebagai media pencerdasan di kalangan mahasiswa.

Fokus dan Rumusan Masalah Kajian
Kajian ini dilaksanakan untuk menjawab kesiapanpemerintah dan stakeholder terkait terhadap  proyek 35000 MW. Selain itu, kajian ini juga berfokus untuk membahas implementasi serta dampak hukum yang mendasari proyek 35000 MW. Atas dasar fokus tersebut, maka rumusan masalah yang akan dijawab dalam kajian ini adalah:
1.    Apakah proyek 35.000 MW dapat diselesaikan hingga tahun 2019?
2.    Apakah proyek 35.000 MW sudah dirasa tepat untuk menjawab permasalahan rasio elektrifikasi nasional?
3.    Apakah proyek 35.000 MW sudah dirasa tepat untuk menjawab permasalahan energi terbarukan?

Pembahasan
1.Apakah program 35000 MW dapat diselesaikan hingga tahun 2019?
            PLN menyatakan bahwa megaproyek 35.000 MW dapat diselesaikan hingga tahun 2019. Meskipun banyak pihak yang skeptis dengan pernyataan PLN tersebut, PLN tetap optimis bahwa megaproyek ini dapat selesai tepat pada waktunya. Untuk menunjang keberlangsungan dan mengkatalis perkembangan program ini, Pemerintah sudah menyiapkan strategi – strategi khusus. Hingga tahun 2019, pemerintah menargetkan Indonesia sudah mempunyai penambahan kapasitas listrik sebesar 35000 MW dengan detail 7000 MW pertahunnya. Pemerintah mewujudkan program ini dengan cara mempercepat pembebasan lahan guna membangun pembangkit listrik, menegosiasi harga dengan menetapkan patokan harga tinggi untuk IPP (Independent Power Producer), memastikan kinerja pengembang atau kontraktor melalui uji kelayakan, mempercepat sekaligus menyederhanakan proses surat izin melalui one-stop service terintegrasi, membentuk PMO (project manajement office) sebagai pusat manajemen program, memperkuat koordinasi lintas sektor, dan mempercepatproses pengadaan tenaga listrik dari IPP. Pembangkit yang dibangun akan direncanakan disebar di seluruh wilayah Indonesia dengan rincian 10.090 MW di Pulau Sumatera, 18.697 MW di Pulau Jawa, 670 MW di Nusa Tenggara, 2.635 MW di Pulau Kalimantan, 3.470 MW di Pulau Sulawesi, 272 MW di Pulau Maluku, dan 220 MW di Pulau Papua.
-Pengadaan listrik oleh IPP yang akan datang dengan metode penunjukan langsung

Pengadaan listrik oleh IPP yang akan datang dengan metode open tender















Namun, jika kita lihat kondisi terkini yang ada di lapangan, program ini sulit terealisasi tepat waktu. Hal ini dikarenakan oleh kontrak pembangunan untuk setengah kapasitas yang ditargetkan belum juga rampung sejak program ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 4 Mei 2015. Akibatnya, perkembangan dari megaproyek ini sangat lamban. Dari total daya 36.772 MW yang diajukan PLN, tercatat hingga kuartal akhir 2016 daya yang sudah dioperasikan hanya sekitar 232 MW saja, dimana baru tiga power-plant yang beroperasi, yaitu PLTG Gorontalo, PLTM Taludaa, dan PLTG MPP Amurang. PLN masih harus menyelesaikan sisa kontrak pengembang sebesar 17.984 MW agar program ini bisa dilanjutkan. Selain masalah kontrak pembangunan, masalah yang membuat program ini terhambat adalah pembebasan lahan yang mandek. Tercatat, PLN menghadapi 145 permasalahan pembebasan tanah, 44 masalah perizinan, 9 masalah tuntutan hukum, dan 3 permasalahan pihak ketiga. Selain itu, kondisi geografis di daerah terpencil juga menjadi hambatan tersendiri bagi PLN untuk mewujudkan proyek ini.
            Berdasarkan fakta-faktayang sudah terjadi di lapangan, proyek ini dirasa cukup sulit untuk diselesaikan hingga 2019. Apabila PLN tetap pada rencana awal, PLN harus segera merampungkan kontrak pembangunan dan menyelesaikan permasalahan pembebasan lahan yang terjadi di berbagai daerah agar megaproyek ini bisa selesai tepat pada waktunya.

2. Apakah proyek 35.000 MW sudah dirasa tepat untuk menjawab permasalahan rasio elektrifikasi nasional?
            Salah satu dari berbagai permasalahan kelistrikan nasional saat ini adalah tingkat keterjangkauan listrik (rasio elektrifikasi) yang masih dirasa terlalu rendah. Permasalahan ini sendiri diperkuat oleh beberapa fakta bahwa rasio elektrifikasi di Indonesia pada tahun 2015 yang hanya mencapai 88,3%, peringkat keenam tertinggi di Asia Tenggara. Tiga provinsi dengan rasio elektrifikasi terendah, yaitu Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua, memiliki rasio elektrifikasi kurang dari 70%, bahkan Provinsi Papua hanya memiliki rasio elektrifikasi 45,93%. Berarti selain rendahnya rasio elektrifikasi nasional, keterjangkauan listrik di Indonesia tidak merata ke setiap daerahnya. Dampak dari rendahnya rasio elektrifikasi ini adalah mandeknya pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam beberapa tahun yang akan datang.
            Untuk menjawab permasalahan rasio elektrifikasi nasional, Presiden Joko Widodo -bekerjasama dengan PLN- mencanangkan megaproyek 35.000 MW selama periode tahun 2014-2019. Dalam pernyataan resminya, PLN menjelaskanmegaproyek 35.000 MW akan meningkatkan rasio elektrifikasi yang semula berkisar di angka 88,3% naik menjadi 97%. Itu berarti rasio elektrifikasi nasional seharusnya bisa mengimbangi negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura, Thailand, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Tak hanya itu, diharapkan beberapa provinsi yang masih memiliki rasio elektrifikasi rendah tertolong dengan adanya megaproyek ini.
-Rencana distribusi pembangkit listrik & transmisi jaringan megaproyek 35000MW
            Kenyataannya, berbagai pihak mengatakan bahwa daya sebesar 35.000 MW terlalu berlebihan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi negara. Bahkan, hanya dengan daya 19.000 MW, pemerintah sudah bisa meningkatkan rasio elektrifikasi negara sebesar 97% sesuai dengan rencana awal. Hal ini disebabkan pertumbuhan ekonomi yang tidak mengalami kenaikan secara signifikan tidak meningkatkan permintaan masyarakat akan kebutuhan listrik secara signifikan pula. Hal ini diperjelas dengan adanya laporan perkembangan ekonomi tahun 2015 yang hanya 4,9% dan diprediksi pula perkembangan ekonomi pada tahun 2016 hanya meningkat sedikit, yaitu 5%. Tahun 2017 persentasenya juga diperkirakan tidak berbeda jauh dari tahun sebelumnya. Secara garis kasar, pertumbuhan ekonomi yang semula diperkirakan berada di angka 6-6,7%, kemungkinan hanya berkisar di angka 5-5,5%. Alhasil, kebutuhan listrik untuk mengejar target rasio elektrifikasi lebih rendah sehingga daya 35.000 MW dirasa terlalu boros untuk meningkatkan rasio elektrifikasi. Kesimpulannya, meningkatkan rasio elektrifikasi secara signifikan tidak harus merealisasikan proyek dengan daya yang besar pula, selama proyek tersebut berjalan secara merata di berbagai daerah sehingga daerah terpencil sekalipun bisa mengejar ketertinggalan rasio elektrifikasinya.

3. Apakah proyek 35.000 MW sudah dirasa tepat untuk menjawab permasalahan energi terbarukan?
            Permasalahan energi baru terbarukan dalam permasalahan kelistrikan di Indonesia sebenarnya bukan merupakan hal yang baru lagi. Banyak pemikiran atau wacana mengenai energi baru terbarukan yang sayangnya belum dapat terealisasikan. Padahal, cadangan bahan bakar fosil dunia semakin menipis. Belum lagi dampak yang dihasilkan menyebabkan pemanasan global (global warming) dan efek rumah kaca yang tentu saja berbahaya bagi kelangsungan hidup. Di Indonesia, hampir semua pembangkit listrik masih menggunakan batu bara, minyak bumi maupun gas alam sebagai bahan bakar. Selain biaya operasional pendistribusian bahan bakar fosil menuju pembangkit listrik yang relatif mahal, dampak lingkungan yang ditimbulkan membuat pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil menjadi semakin tidak efisien sehingga pemerintah perlu beralih ke pembangkit listrik energi terbarukan. Banyak sekali alternatif yang bisa diandalkan, seperti energi angin, air, nuklir, panas bumi (geotermal), dan lain sebagainya.
            Pengadaan listrik oleh PLN yang akan datang


PLN sendiri telah membuat rancangan daftar pengadaan daya listrik 35.000 MW berdasarkan perencanaan bisnis sumber daya listrik dimana dijelaskan juga sumber daya alam yang digunakan. Dari total keseluruhan pembangunan proyek listrik 35.000 MW yang direncanakan, hanya sekitar 25% saja yang baru menggunakan sumber energi baru terbarukan (EBT). Ini disebabkan biaya instalasi awal sumber EBT yang tergolong mahal dan pembangkitnya yang membutuhkan pemeliharaan secara berkala dan intens. Padahal, kalau dihitung-hitung lagi, biaya operasional dari penggunaan EBT lebih murah daripada bahan bakar fosil dan EBT jauh lebih ramah lingkungan daripada bahan bakar fosil. Hal ini tentu saja belum bisa menjawab permasalahan energi baru terbarukan di Indonesia. Apabila pemerintah tetap ingin menjawab permasalahan EBT secepatnya, pemerintah perlu meninjau ulang masalah penggunaan sumber daya alam dalam daftar pengadaan sumber daya listrik megaproyek 35.000 MW.

0 comments:

Post a Comment

SIlahkan berkomentar, mari berdiskusi. Untuk bantuan atau permintaan bisa email kami. Semoga bermanfaat :)